Kamis, 05 Maret 2015

kuli'ah

Hari ini tanganku menyentuh langit-langit sebuah bangunan setinggi 6 meter,
sedang kedua kaki berpijak pada rangka baja.
Jemariku menggenggam erat perkakas seberat kurang lebih 3 kg.
Hanya hati yang masih saja bungkam,
tak pernah terbesit sama sekali untuk hal ini. menginginkanpun tidak.
Mempertaruhkan nyawa seharga tali temali yang membelit tubuh.
Sesekali mata menyebar pandang pada kawan-kawan, yang bersama merakit rangka dan melilit tali, untuk mendoktrin diri masing-masing bahwa hasil rakitan dan belitan ini adalah jaminan.
Hampir-hampir tak ada yang ku peroleh selain letih, tegang, dan linglung, untuk apa melakukan hal yang tak pernah diinginkan bahkan cendrung berbahaya, konyol.
Hingga pada satu titik dalam keletihanku, hati beranjak dari bungkam.
Ada hal yang terlewat, bukankah bukan cuma aku yang melakukan ini. bahkan banyak orang yang menjadikan ini sebagai profesi dan ladang nafkah.
Mempermainkan nyawa di atas sana, seolah nyawa beratnya hanya sepersebagian dari berat perkakasnya sendiri.
Setidaknya hari ini pula aku belajar harga mati buruh kuli.
Dibalik bangunan super megah nan elit, ada tangan-tangan kusam penuh luka yang menggantungkan asa.

Jumat, 30 Januari 2015

Kamuflase dibalik tugas cerpen bu Qodriyah



Mimpiku terbangunkan oleh pagi di hari kamis, bergegas ku bersiap untuk sekolah. Teras depan rumah, ya aku ingat dia pernah duduk di sini bercanda tawa saat kita masih akrab dulu. Ah..ku alihkan pikiran ku, papah telah menunggu untuk segera berangkat.
Terbayang akan bunga tidur semalam, untuk kedua kalinya dia singgah di mimpiku. Entah pertanda apalagi ini. Mimpi yang sebelumnya sempat jadi nyata, membuat hari-hariku berbeda. Tapi... mimpi tadi seperti sebuah petunjuk, mimpi itu memberikan ku dua pilihan jalan menuju tempat yang sama, yaitu hatinya. Dimana ada jalan yang mulus nanjauh dan bahkan memerlukan waktu yang lama untuk menempuhnya, atau jalan yang sebenarnya dekat dan cepat namun sangat terjal dan berbahaya."Gin, lanjut naik angkutan ajah yah," suara papah membuyarkan lamunanku, ternyata sudah setengah jarak dari sekolah. Ku sambung dengan menumpang angkutan umum.
Udara terasa lebih dingin, bukan..bukan karena angin yang berhembus dari sela jendela, Mungkin dari sela hatiku yang hampa setelah dia berpaling. Padahal masih terngiang jelas rayuannya mengalahkan bising klakson lampu merah Cadas. Pemandangan jalan ini membawa ku kembali pada saat itu, saat dia mengantar ku pulang. Mengapa hatiku tak kau pulangkan juga?
Lama-lama terasa aneh, hingga ku menyadari hanya tinggal aku penumpang yang ada di angkutan ini. Tak pikir panjang ku langsung turun, karena sedari tadi tak memperhatikan jalan, aku jadi kebingungan diperparah aku berada di persimpangan jalan. Harus kemana aku? akhirnya ku beranikan diri untuk bertanya pada seorang pria paruh baya yang sedang menjajakan dagangannya. "Permisi bapak, ini daerah apa yah?,” tanyaku, "atuh tanah merah neng, kenapa tah ?" jawabnya dengan logat kental sepatan, "kalo SMAN 11 dimana ya pak?" tanyaku lagi, "wkwkwkhahahah jih si eneng aneh jasaaa, tinggal lurus aja geh ikutin jalan ini jah" jawabnya sambil menahan tawa. Yah.. Mungkin beliau heran ada anak berseragam asal sekolahnya menanyakan sekolahnya sendiri, sama herannya dengan memiliki hati tapi masih bertanya siapa yang menghuni. "Makasih pak," ku akhiri dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Lima menit lagi masuk, tapi ada pepatah bijak berkata 'lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali' apa pepatah itu berlaku untuk kita?, apa masih lebih baik jikalau aku terlambat pergi darimu?, dari pada tak melakukan apa-apa. Lamunanku terhenti lagi, kali ini karena telah sampai di gerbang sekolah yang langsung terdengar bel masuk, berlari-lari kecil ku menuju kelas. Tak sengaja ku berpapasan dengan dirinya yang lagi-lagi sedang menggenggam surat dispen, hem.. bakal jadi hari yang panjang nih.
Jam istirahat, pelajaran BK tadi membuatku berpikir. "Setiap orang sudah ada jalannya masing-masing," tutur pak Masruri.Pertemuan kita mungkin hanyalah jalan yang bersinggungan, atau aku hanyalah halte baginya. Langkah kaki menuntunku ke tempat paling sejuk di sekolah ini, mushola. Segarnya air wudhu menyadarkan bahwa aku masih punya cinta yang pasti dan maha dahsyat, yang kadang terabaikan. Ketika hendak kembali ke kelas, ketiga temanku dari kelas lain menawarkan produk hasil TPP (Teknologi Pengolahan Pangan) mereka. "Jus manggah.. " lirih ku sebut produk itu yang sekarang berada di tanganku. Ku rasakan jus mangga ini tak senikmat jus mangga waktu itu, waktu meminum bersamanya. Ya ampun.. aku lupa hari ini kan puasa, andai aku pun semudah itu lupa dirinya.
Pelajaran kimia dimulai, oh no otak ku mulai berasap. Aku dan dia ternyata ibaratkan larutan nonelektrolit yah.. yang tidak dapat menghantarkan listrik untuk menghidupkan sang lampu (cinta) atau sekedar menghasilkan gelembung (harapan). KBM selesai, tak ingin cepat beranjak pulang dan sekarang aku berada di suatu tempat dimana dia bagai milikku. Walau masing-masing dari kami telah ada yang memiliki, tetapi di sinilah surga kami. Namun tidak lagi, tidak sekarang, tidak juga nanti, hanya dahulu saja. Tak luput ku putar hits galau sebagai pelengkap penderitaan, yang setiap liriknya mengantar ku pada setiap peristiwa yang pernah kami lewati saat ‘masih’ berdua. Sang senja pun seakan iba pada ku, dengan sedikit acuh ku balas susuri petang ini. Melangkah menjauh dari bangku penantian menuju portal perhentian. Meninggalkan halte yang tak pernah mendatangkan kereta itu, kereta yang terlalu cepat berlalu.
Kali ini ku biarkan ia berlinang, tak ku seka atau sekedar menengadah. Ku ijinkan pula angin malam menyapa tajam rambutku yang terurai lunglai. Kembali ku putar video kami, lucu sekali yah kita dulu berkejar-kejaran bagai ombak di Tanjung kait, tapi sekarang kita hanyalah seperti air kolam di depan kelas ku, yang tak berdebur dan menyimpan banyak rahasia di balik kekeruhan. Pandanganku seketika teralih pada tanaman di sudut balkon yang ku senderi, kering layu tetapi tetap tumbuh. begitu juga kah cinta? bila ku nekat pertahankan cinta yang tertanam di hati ini, maka ia akan cacat karna tumbuh menderita. Namun jika ku cabut dan pangkas habis, ia akan meninggalkan bekas luka. Padahal ini baru tahun pertamaku ditingkat yang lebih tinggi, masih harus bertahan dua tahun lagi. Terlebih akan se-kelas terus sampai lulus, se-forum rapat keorganisasian, se-tim olimpiade. Walau tak se-hati (lagi).

Oh my god! besok kan ada tes olimpiade. Segera ku kembali ke meja belajar, perlahan ku buka buku ini selembar demi selembar. Hingga jemariku berhenti pada suatu halaman di buku ini, ada tulisan tangannya yang jail. Aaargghtt…!! Konsentrasi ku buyar. Mungkin aku terlalu lelah dengan semua kejadian di hari ini yang membuat ku termenung dan merenung. Jika memang perasaan ini tak bisa hilang.. setidaknya aku dapat untuk sekedar lupa. Dengan begitu tak perlu susah payah ku akhiri, ku hanya sedang berdamai dengan menunda.
Ku rebahkan tubuh kurus ini, dan coba menjawab mimpi itu. Jadi sudah mantap ku putuskan, aku tak memilih kedua jalan yang  terdapat dalam mimpi itu, melainkan memilih jalan alternatif ku sendiri, yaitu mengabaikan perasaanku padamu, seperti yang kau lakukan."YaTuhan, kuserahkan semua padaMu, biarkanlah dia yang menjadi intermezzo di perjalanan hidupku menjemput ridhaMu tapi jangan Kau biarkan dia hadir lagi di setiap malamku. Berilah petunjukMu dan rahmatilah hamba", itu doaku malam ini, esok malam, dan malam seterusnya, hingga semua terijabah.  Terpejam mataku, dengan sedikit terbesit, semoga esok ia dispen kembali, dispen dari hasratku, untuk sekian waktu, ku mohon.